KEPRIBADIAN DALAM PSIKOLOGI ISLAM

,
Copas from:http://makalah88.blogspot.com/2012/01/kepribadian-dalam-psikologi-islam.html  

KEPRIBADIAN DALAM PSIKOLOGI ISLAM

Oleh: Agus Setiawan dan Hendriyanto
Definisi Kepribadian
psikologi islamDefinisi  deterministik menganggap kepribadian sebagai keadaan internal individu, sebagai organisasi proses dan struktur di dalam diri seseorang: "kepribadian adalah apa yang menentukan prilaku di dalam sesuatu yang ditetapkan dan di dalam kesadaran jiwa yang ditetapkan".[1] Atau seperti yang dikemukakan oleh Allport, kepribadian terletak di balik individu; dan, "system yang menyusun kepribadian dalam segala hak adalah kecenderungan yang menentukan".[2] Bila didefinisikan demikian, maka kepribadian adalah(1) seperangkat kecenderungan kecondongan internal yang terorganisasi untuk berperilaku dengan cara tertentu; (2) keberadaan tersendiri yang disimpulkan dari perilaku, bukan yang langsung dapat diamati; (3) agak stabil dan konsisten dalam perjalanan dalam waktu dan dipicu oleh rangsangan yang fungsinya sepadan; (4) kekuatan yang menjadi penengah diantara penghargaan seseorang kepada dunia dan kegiatan dalam dalam suatu situasi; dan (5) membantu individu dalam menyaring realitas, mengungkapkan  perasaan, dan mengidentifikasikan diri kepada orang lain.
Unsur utama dalam definisi deterministik ialah pandangan bahwa kepribadian terdiri atas kecenderungan yang stabil untuk berperilaku  bahwa kepribadian menyebabkan, atau setidak-tidaknya menerangkan, tetapnya tanggapan seseorang terhadap berbagai rangsangan.[3]
Bisa disimpulkan bahwasannya kepribadian dalam psikologi adalah sesuatu yang bisa menentukan tingkah laku manusia atau susunan daripada atauran tingkah laku dalam pola respons yang konsisten.[4] Karena dengan kita melihat tingkah laku manusia, maka kita akan mengetahui kepribadiannya. Adapun kepribadian memiliki kesamaan dengan  sikap (attitude). Dan sikap sendiri menurut ahli psikologi yaitu:
  1. Charles Bird mengartikan sikap sebagai suatu yang berhubungan dengan penyesuaian diri seseorang kepada aspek-aspek lingkungan sekitar yang dipilih atau kepada tindakan-tindakannya sendiri. Bahkan lebih luas lagi, sikap dapat diartikan sebagai predisposisi (kecenderungan jiwa)  atau orientasi kepada suatu masalah, institusi dan orang-orang lain.[5]
  2. F. H. Allport berpendapat bahwa sikap adalah suatu persiapan bertindak/berbuat dalam suatu arah tertentu.[6]
Dibedakan adanya 2 sikap, yakni sikap individual dan sikap sosial. Di contohkan misalnya seorang mahasiswa yang terpaksa mengikuti kuliah dari dosen  yang membosankan, menurut dorongan keinginannya ia seharusnya meninggalkannya, (hal iini merupakan sikap individual), akan tetapi mengingat norma kesopanan  dia tetap duduk mendengarkannya meskipun merasa tersiksa karenanya (hal ini termasuk sikap sosial). Dengan demikian maka sikap merupakan suatu kecenderungan yang menentukan atau suatu kekuatan jiwa yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku yang ditujukan kearah  suatu objek khusus dengan cara tertentu, baik objek itu berupa orang, kelembagaan ataupun masalah bahkan berupa dirinya sendiri.[7]
Oleh karena sikap merupakan tendensi (kecenderungan) atau orientasi, maka ia dapat mengalami perubahan melalui pengalaman atau pendidikan.[8]
Sebagai bangsa yang berjiwa sosialistis-religius sikap pribadi bangsa indonesia berkembang dalam ruang lingkup (pola) sosialistis-religius dimana leit-line (garis hidup) yang menghubungkan dengan khaliknya (garis vertikal) dan dengan masyarakatnya (garis horizontal) merupakan frame or reference (kerangka dasar sikap dan pandangan)  yang selalu berkembang secara harmonis. Dan untuk memperoleh frame or reference itu manusia mengalami perkembangan yang berada  di dalam proses belajar secara individual (individual learning) dan belajar secara sosial (social learning). Antara individual learning dengan social learning itu terjadi suatu perpaduan dalam rangka pembentukan pribadi manusia sebagai anggota masyarakat, atau kelompok. Dalam hubungan inilah maka berbagai faktor yang mempengaruhi proses kegiatan belajar tersebut perlu mendapatkan perhatian dalam penetapan dan penerapan metode dakwah dan penerangan agama oleh karena pada hakikatnya dilihat dari sudut psikologi, dakwah dan penerangan agama itu adalah merupakan proses belajar-mengajar yang diikat oleh adanya komunikasi sekurang-kurangnya antara dua orang/pribadi sampai dengan antar kelompok. Juru dakwah/ penerangan agama adalah pengajar, sedang objek dakwah adalah pribadi yang belajar yang diikat oleh minat (motif).[9]
Faktor-faktor dimaksud menyangkut realitas kehidupan pribadi dan realitas lingkungan di mana seseorang hidup. Hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Kemampuan psikologis pribadi manusia adalah menjadi salah satu faktor penentu bagi kelangsungan proses belajar mengenai segala ide/pikiran, pengetahuan atau cita-cita yang dibawakan oleh juru dakwah/penerang agama.
Dari kemampuan individual inilah timbul pelbagai kegiatan belajar yang motifnya bagi masing-masing orang tidak harus sama, akan tetapi dengan persamaan tujuan yaitu memuaskan kebutuhan hidup individualnya.
Kemampuan psikologis manusia itu dapat terlihat dalam perkembangan melalui pelbagai aspek yaitu antara lain: pembawaan, pendidikan keluarga, pengalaman dalam pergaulan dengan masyarakat sekitar, dan perpaduan antara pembawaan dan pengalaman yang diperoleh.[10]
  1. Pembawaan bagi setiap pribadi manusia adalah tidak sama disebabkan ole berbeda-beda unsur keturunan yang diperoleh dari orang tuanya, bahkan keturunan dari nenek moyang atau ras/sukunya.
  2. Pengaruh pendidikan keluarga bagi perkembangan kepribadian manusia adalah paling besar dibanding dengan pengaruh kelompok kehidupan lainnya dalam masyarakat.[11]
  3. Pengalaman dalam masyarakat sekitar baik dalam lingkungan sosial maupun kultural adalah termasuk faktor yang dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku manusia.[12]
  4. Pengaruh lainnya adalah menyangkut proses pengembangan pribadi manusia berdasarkan pada prinsip konvergensi yakni suatu perkembangan yang bersifat dialektis (saling pengaruh mempengaruhi antara pembawaan dan pengalaman) atau prinsip interaksi antara kemampuan pribadi dengan pengaruh lingkungan baik berupa kelompok/masyarakat maupun kebudayaan.[13]
Susunan Kepribadian[14] dan Unsur-Unsur Kepribadian
Sigmund Freud, di dalam menganalisa pribadi manusia berpendapat bahwa pribadi manusia mempunyai 3 unsur kepribadian:[1]
1)      Id/ nafsu
2)      Ego/ Akal
3)      Superego/ Qalbu
Id adalah sumber segala naluri atau nafsu. Semuanya berada dalam alam ketidak sadaran (bawah sadar). Tujuannya ialah pemuasan jasmaniah. Jadi yang menjadi prinsip baginya ialah kesenangan. Dia tidak mengenal nilai, terutama nilai moral, oleh karenanya ia disebut bersifat immoral.
Ego ialah tempat di mana segala daya-daya yang datang dari Id maupun superego dianalisa, dipertimbangkan, untuk kemudian ditiadakan atau ditindakkan. Dia merupakan pihak pengontrol agar keseimbangan pribadi seseorang tetap ada. Jadi di sini seseorang itu sadar terhadap kemauan-kemauan Id atau seperego. Sebagai pengontrol, maka ia tak dapat tidak memperhatikan dan memperhitungkan realitas dunia luar.
Superego adalah sumber segala nilai, termasuk nilai moral. Di sini ia pun sebagaimana Id, berada dalam alam bawah sadar.  Hanya saja ia lebih menuju ke arah prinsip kesempurnaan rohaniah. Karenanya ia bersifat idiil.
Dalam diri seseorang yang berkepribadian sehat, ketiga sistem kepribadian itu bekerja secara harmonis. Bila terjadi pertentangan-pertentangan akibat dorongan Id ataupun Superego, sedangkan Ego tak mampu mengatasi, maka akan hilang keseimbangan diri seseorang, dan di situ akan lahir gejala-gejala abnormal.
Baik Id, ego dan superego, masing-masing mempunyai daya-daya pendorong yang disebut Cathexis.Sedangkan untuk Ego dan Superego juga memiliki daya penahan yang disebut anti-cathexis. Daya-daya ini dapat pula disebut sebagai "kehendak". Kehendak inilah yang mula-mula menimbulkan kegoncangan dalam keseimbangan pribadi, yang menjelma dalam bentuk pertentangan.[2]
Skema Pribadi Menurut Sigmund Freud
Id
Ego
Superego
Naluri/instin/nafsu immoral
Prinsip kesenangan
Bawah sadar kejasmanian
Cathexis (pendorong)
Tingkah laku impulsif
Irasional (memaksa ego untuk melihat dunia seperti yang diinginkan)
Penimbang
Perinsip kenyataan
Sadar
Cathexis & anti Cathexis
Tingkah laku Zaklijk
Rasional
Dorongan moral
Prinsip kesempurnaan
Bawah sadar kerohanian
Cathexis &anti Cathexis
Tingkah laku idealistis
Irasional (memaksa egi untuk melihat dunia dalam bentuk yang seharusnya)


Reference:
@     Jalaluddin Rahmat, Komunikasi politik. PT. Rosda Karya Bandung. Cet.I 1989.
@     Prof. H. M. Arifin Ilham, Psikologi Dakwah, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 5. 2000
@     Drs. Mudlor Achmad, Etika Dalam Islam, Surabaya:Al-ikhlas


[1]Ibid, hal. 42
[2] Ibid, hal. 43

[1] Jalaluddin Rahmat, Komunikasi politik. PT. Rosda Karya Bandung. Cet.I 1989. hal 90
[2] Ibid. hal 90
[3] Ibid. hal 90
[4] Prof. H. M. Arifin Ilham, Psikologi Dakwah, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 5. 2000.hal. 123
[5] Prof. H. M. Arifin Ilham, Psikologi Dakwah, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 5. 2000.hal. 104
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid, hal. 105
[10] Ibid
[11] Ibid, hal. 107
[12] Ibid, hal. 109
[13] Ibid, hal. 113
[14] Drs. Mudlor Achmad, Etika Dalam Islam, Surabaya:Al-ikhlas, hal. 53




Read more →

AL-KINDI

,
Copas from: http://makalah88.blogspot.com/2012/01/al-kindi.html

AL-KINDI

Oleh : Agus Setiawan
Biografi Al-Kindi
Al-kindi yang dikenal sebagai filosuf  muslim keturunan Arab pertama, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Yakub ibn al-Shabbah ibn Imran ibn Muhammad ibn al-Asy’as ibn Qais al-Kindi. Ia populer dengan sebutan Al-Kindi, yaitu dinisbatkan kepada Kindah, yakni
suatu kabilah terkemuka pra-islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman.[1], yang juga kindah sejak dulu menempati daerah selatan Jazirah Arab yang tergolong memiliki apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan banyak dikagumi orang.[2]

Ia lahir di Kufah sekitar 185 H (801 M) dari keluarga kaya dan terhormat. Kakek buyutnya, al-Asy’as ibn Qais adalah salah seorang sahabat Nabi yang gugur bersama Sa’ad ibn Abi Waqqas dalam peperangan antara kaum muslimin dengan Persia di Irak.. sedangkan ayahnya, Ishaq ibn al-Shabbah adalah gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi (775-785 M) dan Al-Rasyid (786-809 M). ayahnya wafat ketika ia masih  kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu  dengan baik di Bashrah dan Baghdad di mana dia dapat bergaul dengan ahli pikir tekenal.[3]
Memperhatikan tahun lahirnya, dapat diketahui bahwa Al-Kindi hidup pada masa keemasan kekuasaan Bani ‘Abbas. Pada masa kecilnya, Al-Kindi sempat merasakan masa pemerintahan khalifah  Harun Al-Rasyid yang terkenal sangat memperhatikan dan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan bagi kaum Muslim. Pada masa pemerintahannya, Baghdad menjadi pusat perdagangan sekaligus pusat ilmu pengetahuan. A-Rasyid mendirikan semacam akademi atau lembaga, tempat  pertemuan para ilmuwan  yang disebut Bayt Al-Hikmah(balai ilmu pengetahuan). Al-Rasyid wafat pada tahun 193 H (809 M) ketika Al-Kindi masih berumur 9 tahun. Sepeninggal Al-Rasyid, putranya, Al-Amin menggantikannya sebagai Khalifah, tetapi pada masanya tidak tercatat ada usaha-usaha untuk mengembangkan lebih lanjut ilmu pengetahuan yang telah dirintis dengan mengembangkan usaha susah payah ayahnya. Al-Amin wafat pada tahun 198 H (813 M), kemudian  digantikan  oleh saudaranya  Al-Makmun. Pada masa pemerintahan Al-Makmun (198-228 H) perkembangan ilmu pengetahuan amat pesat. Fungsi Bayt Al-Hikmah lebih ditingkatkan, sehingga pada masanya berhasil dipertemukan antara  ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu asing, khususnya dari Yunani. Pada masa ini juga dilakukan penerjemahan besar-besaran kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan kaum muslim sangat pesat karena memperoleh kesempatan untuk mengembangkan diri. Dan pada waktu inilah Al-Kindi muncul sebagai salah seorang tokoh yang mendapat kepercayaan untuk menerjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab, bahkan ia memberi komentar terhadap pikiran-pikiran pada filosof Yunani.[4]
Al-kindi yang dilahirkan di Kuffah pada masa kecilnya memperoleh pendidikan di Bashrah. Tentang siapa  guru-gurunya tidak dikenal, karena tidak terekam dalam sejarah hidupnya. Tetapi dapat dipastikan ia mempelajari ilmu-ilmu sesuai  dengan  kurikulum pada masanya. Ia mempelajari Al-Qur’an, membaca, menulis, dan berhitung. Setelah menyelesaikan pelajaran (dasar(-nya di Bashrah, ia melanjutkan ke Baghdad hingga tamat, ia mahir sekali dalam berbagai macam cabang ilmu yang ada pada waktu itu, seperti ilmu ketabiban (kedokteran), filsafat, ilmu hitung, manthiq (logika), geometri, astronomi, dan lain-lain. Pendeknya  ilmu-ilmu yang berasar dari Yunani juga ia pelajari, dan sekurang-kurangnya salah satu bahasa yang menjadi bahasa ilmu pengetahuan kala itu ia kuasai dengan baik yaitu bahasa Suryani. Dari buku-buku Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani inilah Al-Kindi menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Namun Al-Kindi menanjak setelah hidup di istana pada masa pemerintahan Al-Mu’tashim yang menggantikan Al-Makmun pada tahun 218 H (833 M) karena pada waktu itu  Al-Kindi dipercaya pihak istana menjadi guru pribadi pendidik puteranya, yaitu Ahmad bin Mu’tashim. Pada masa inilah Al-Kindi berkesempatan menulis karya-karyanya, setelah pada masa Al-Makmun menerjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab.[5]
Membahas tentang mengapa Al-Kindi tidak disebutkan ahli falsafat islam yang pertama dan kehormatan ini diberikan kepada farabi?[6]
Memang bermacam-macam fikiran orang tentang gelar itu. Ada yang memasukkan Al-Kindi ke dalam golongan ahli falsafat dan menamakan dia ahli falsafat islam yang pertama. Ada juga yang memberikan gelar ahli falsafat islam yang pertama kepada farabi dengan alas an, bahwa al-kindi hanya merupakan penerjemah pertama dari kitab-kitab falsafat yunani ke dalam bahasa arab, karena al-kindilah anak arabyang pertama mengupas falsafat dalam bahasa arab.[7]
Sesudah mengikuti apa yang disebutkan diatas, maka salah paham orang terhadap al-kindi mudah dihindarkan. Jikalau kita mengakui bahwa al-kindi bukan hanya sekedar penerjemah kitab-kitab falsafat yunani, tetapi juga mengupas isi falsafat aristoteles dan plato, dan menyalurkan kepada suatu falsafat yang dapat diterima oleh islam. Maka dengan tidak ragu-ragu al-kindi dapat dinamakan ahli falsafat islam yang pertama, tetapi ia kalah dalam susunan bahasa yang indah, seperti yang pernah dikerjakan oleh farabi, yang lebih jelas mengemukakan analisa dan pendirian-pendirian falsafat islam. Sehingga falsafat yang dikemukakan oleh farabi itu merupakan corak falsafat islam yang sudah nyata bentuknya, meskipun rintisan kearah itu telah dibuka sebelumnya oleh al-kindi. Lalu farabi terkenal sebagai ahli falsafat islam yang pertama, yang buku dan bahasanya yang indah, sesuai dengan kemajuan kesusasteraan arab dikala itu, dibaca orang dalam kalangan luas dan mendapat perhatian penuh dari umum, terutama dari penulis-penulis sejarah.[8]
Lain dari pada itu al-kindi banyak musuhnya, tidak saja karena ia seorang yang  terpandai, tetapi juga karena ia seorang yang terdekat dengan istana dan mempunyai pengaruh terhadap aliran-aliran tertentu. Tidak pula kita lupakan suatu hal yang terpenting, yang merupakan mega kemasyhuran al-kindi, bahwa kitab-kitabnya banyak yang hilang, dan lama kemudian dari pada matinya baru di ketemukan orang kembali serta dibicarakan, lama sesudah orang sepakat memberikan gelar kehormatan kepada farabi. Tetapi ia tetap merupakan perintis falsafat islam yang pertama. Dr. Madkur menyebut dia, "mu'assis awwal lil madrasah falsafiyah islamiyah". (peletak baut pertama bagi aliran falsafat islam).[9]
Mustafa Abdurraziq juga menjunjung al-kindi sebagai ahli falsafat islam yang pertama karena tiga hal:
  1. al-kindi  mula-mula membagi falsafat dalam 3 ilmu, yaitu ilmu ketuhanan, ilmu pasti, dan ilmu alam, ketiga-tiganya adalah merupakan dasar falsafat islam.
  2. bahwa al-kindilah yang mula-mula membuka jalan ke arah falsafat islam dengan mempertemukan dua pendapat yang berbeda antara plato dan aristoteles, sehingga dengan demikian itu bertemu pulalah agama dengan falsafat.
  3. bahwa al-kindi adalah seorang arab islam yang mula-mula merintis membuka ilmu falsafat ini, sehingga ilmu itu tersiar diantara orang arab dan dalam kalangan islam.[10]
Ibnu Usaibi'ah mengatakan tentang al-kindi: "tidak ada dalam dunia islam orang yang masyhur tentang ilmu falsafat pada masanya selain dari al-kindi, sehingga ia berhak dinamakan filosof islam". Ibnu Nutabah juga berkata dengan jelas: "al-kindi ialah Ya'kub bin sibah, yang dalam masa hidupnya dinakan filosof islam".[11]
Dengan demikian hampir semua orang menamakan al-kindi filosof islam pada waktu hidupnya, sampai lahirlah farabi menutupi kemasyhurannya, dan namanya tidak disebut lagi. Farabi masyhur karena karangan-karangan al-kindi, farabi digelarkan "guru yang kedua" karena ia mengupas falsafat yang kedua lebih mendalam dan lebih tegas, yang oleh al-kindi baru hanya disinggung-singgung dan yang oleh aristoteles baru digugat-gugat, sehingga dengan demikian farabi beroleh gelar, disamping aristoteles sebagai guru pertama, guru kedua dalam ilmu falsafat. Memang sudah menjadi kebiasaan dalam sejarah, yang memulai menderita susah payah, yang menyudahi biasanya beroleh kemenangan. Tetapi bagaimanapun juga, jasa penanam bibit dan perintis jalan tidak mudah dilupakan orang.[12]
Karya Al-Kindi
Sebagai seorang filosof islam yang produktif, diperkirakan karya yang pernah ditulis Al-Kindi dalam berbagai bidang tidak kurang dari 270 buah. Dalam bidang filsafat, diantaranya adalah:
  1. kitab Al-Kindi ila Al-Mu’tashim Billah fi al-Falsafah al-Ula (tentang filsafat pertama),
  2. kitab al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyah wa al Muqtashah wa ma fawqa al-Thabi’iyyah(tentang filsafat yang diperkenalkan dan masalah-masalah logika dan muskil, serta metafisika),
  3. kitab fi Annahu la Tanalu al-Falsafah illa bi ‘ilm al-Riyadhiyyah (tentang filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika),
  4. kitab fi Qashd Aristhathalis fi al-Maqulat (tentang maksud-maksud Aristoteles dalam kategori-kategorinya),
  5. kitab fi Ma’iyyah al-‘ilm wa Aqsamihi (tentang sifat ilmu  pengetahuan dan klasifikasinya),
  6. Risalah fi Hudud al-Asyya’ wa  Rusumiha (tentang definisi benda-benda dan uraiannya),
  7. Risalah fi Annahu Jawahir la Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa badan),
  8. kitab fi Ibarah al-Jawami’ al  Fikriyah (tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komprehensif),
  9. Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah (sebuah tilisan filosofis tentang rahasia-rahasia spiritual),
  10. dan Risalah fi al-Ibanah an al-‘illat al-Fa’ilat al-Qaribah li al-kawn wa al-Fasad (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan kerusakan).[13]
Definisi filsafat al-kindi
Al-kindi menyajikan banyak definisi filsafat tanpa menyatakan bahwa definisi mana yang menjadi miliknya. Yang disajikan adalah definisi-definisi dari filsafat terdahulu, itu pun tanpa menegaskan dari siapa diperolehnya. Mungkin dengan menyebut berbagai macam definisi itu dimaksudkan bahwa pengertian yang sebenarnya tercakup dalam semua definisi yang ada, tidak hanya pada salah satunya. Hal ini berarti bagi al-kindi, bahwa untuk memperoleh pengertian lengkap tentang apa filsafat itu harus memperhatikan semua unsur yang terdapat dalam semua definisi tentang filsafat. Definisi-definisi al-kindi sebagai berikut:[14]
  1. Filsafat sendiri terdiri dari gabungan dua kata, philo, sahabat dan Sophia, kebijaksanaan. Filsafat adalah cinta kepada kebijaksanaan. Definisi ini berdasar atas etimologi yunani dari kata-kata itu.
  2. Filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Definisi ini merupakan definisi fungsional, yaitu meninjau filsafat dari segi tingkah laku manusia.
  3. Filsafat adalah latihan untuk mati. Yang dimaksud dengan mati adalah bercerainya jiwa dari badan. Atau mematikan hawa nafsu adalah mencapai keutamaan. Oleh karenanya, banyak orang bijak terdahulu yang mengatakan bahwa kenikmatan adalah suatu kejahatan. Definisi ini juga merupakan definisi fungsional, yang bertitik tolak pada segi tingkah laku manusia pula.
  4. Filsafat adalah pengetahuan dari segala pengetahuan dan kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan. Definisi ini bertitik tolak dari segi kausa.
  5. Filsafat adalah pengetahuan manusia tentang dirinya. Definisi ini menitikberatkan pada fungsi filsafat sebagai upaya manusia untuk mengenal dirinya sendiri. Para filosof  berpendapat bahwa manusia adalah badan. Jiwa dan aksedensial manusia yang mengetahui dirinya demikian itu berarti mengetahui segala sesuatu. Dari sinilah para filosof menamakan manusia sebagai mikrokosmos.
  6. Filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang abadi dan bersifat menyeluruh (umum), baik esensinya maupun kausa-kausanya. Definisi ini menitikberatkan dari sudut pandang materinya.
Dari beberapa definisi yang amat beragam diatas, tampaknya al-kindi menjatuhkan pilihannya pada definisi terakhir dengan menambahkan suatu cita filsafat, yaitu sebagai upaya mengamalkan nilai keutamaan. Menurut al-kindi, filosof adalah orang yang berupaya memperoleh kebenaran dan hidup mengamalkan kebenaran yang diperolehnya yaitu orang yang hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil. Dengan demikian, filsafat yang sebenarnya bukan hanya pengetahuan tentang kebenaran, tetapi di samping itu juga merupakan aktualisasi atau pengamalan dari kebenaran itu. Filosof yang sejati adalah yang mampu memperoleh kebijaksanaan dan mengamalkan kebijaksanaan itu. Hal yang disebut terakhir menunjukkan bahwa konsep al-kindi tentang filsafat merupakan perpaduan antara konsep Socrates dan aliran stoa. Tujuan terakhir adalah dalam hubungannya dengan moralita.[15]
Al-kindi menegaskan juga bahwa filsafat yang paling tinggi tingkatannya adalah filsafat yang berupaya mengetahui kebenaran yang pertama, kausa daripada semua kebenaran, yaitu filsafat pertama. Filosof yang sempurna dan sejati adalah yang memiliki pengetahuan tentang yang paling utama ini. Pengetahuan tentang kausa ('illat) lebih utama dari pengetahuan tentang akibat (ma'lul, effect). Orang akan mengetahui tentang ralitas secara sempurna jika mengetahui pula yang menjadi kausanya.[16]
Epistemologi Al-Kindi
Al-kindi menyebutkan adanya tiga macam pengetahuan manusia, yaitu: a). pengetahuan inderawi, b). pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal yang disebut pengetahuan rasional, dan c). pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan yang disebut pengetahuan isyraqi dan iluminatif.
  1. Pengetahuan inderawi
Pengetahuan inderawi terjadi secara langsung ketika orang mengamati terhadap obyek-obyek material, kemudian dalam proses tanpa tenggang waktu dan tanpa berupaya berpindah ke imajinasi (musyawwirah), diteruskan ke tempat penampungannya yang disebut hafizhah (recollection). Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan ini tidak tetap, karena obyek yang diamati pun tidak tetap, selalu dalam keadaan menjadi, berubah setiap saat, bergerak, berlebih-berkurang kuantitasnya, dan berubah-ubah pula kualitasnya.
Pengetahuan inderawi ini tidak memberi gambaran tentang hakikat sesuatu realitas. Pengetahuan inderawi selalu berwatak dan bersifat parsial (juz'iy). Pengetahuan inderawi amat dekat kepada penginderaannya, tetapi amat jauh dari pemberian gambaran tentang alam pada hakikatnya.[17]
  1. Pengetahuan rasional
Pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal bersifat universal, tidak parsial, dan bersifat immaterial. Obyek pengetahuan rasional bukan individu, tetapi genus dan spesies. Orang mengamati manusia sebagai yang berbadan tegak dengan dua kaki, pendek, jangkung, berkulit putih atau berwarna, yang semua ini akan menghasilkan pengetahuan inderawi. Tetapi orang yang mengamati manusia, menyelidiki hakikatnya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa manusia ialah makhluk berpikir (ratinal animal= hayawan nathiq), telah memperoleh pengetahuan rasional yang abstrak universal, mencakup semua individu manusia. Manusia yang telah ditajrid (dipisahkan) dari yang inderawi tidak mempunyai gambar yang terlukis dalam perasaan.
Al-kindi memperingatkan agar orang tidak mengacaukan metoda yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan, karena setiap ilmu mempunyai metodanya sendiri yang sesuai dengan wataknya. Watak ilmulah yang mennetukan metodanya. Adalah suatu kesalahan jika kita menggunakan suatu metoda suatu ilmu untuk mendekati ilmu lain yang mempunyai metodanya sendiri. Adalah suatu kesalahan jika kita menggunakan metoda ilmu alam untuk matematika, atau menggunakan metoda ilmu alam untuk metafisika.[18]
  1. Pengetahuan Isyraqi
Al-kindi mengatakan bahwa pengetahuan inderawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan yang hakiki tentang hakikat-hakikat. Pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan tentang genus dan spesies. Banyak filosof yang membatasi jalan memperoleh pengetahuan pada dua macam jalan ini. Al-kindi, sebagaimana halnya banyak filosof isyraqi, mengingatkan adanya jalan lain untuk memperoleh pengetahuan lewat jalanisyraqi (iluminasi), yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran Nur Ilahi. Puncak dari jalan ini ialah yang diperoleh para Nabi untuk membawakan ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu kepada umat manusia. Para Nabi memperoleh pengetahuan yang berasal dari wahyu Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semata-mata. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu. Pengetahuan dengan jalan wahyu ini merupakan kekhususan bagi para Nabi yang membedakan dengan manusia-manusia lainnya. Akal meyakinkan kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan itu memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, Karena hal itu memang diluar kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dengan penuh ketaatan dan ketundukan kepada kehendak Tuhan, membenarkan semua yang dibawakan para Nabi.[19]
Filsafat dan Agama Menurut Al-Kindi[20]
Agama yang bersumber dari wahyu Ilahi mengandung kebenaran, dan kebenaran ini dituangkan untuk manusia. Filsafat juga mengandung kebenaran, kebenarannya didasarkan pada pencarian nalar manusia. Dengan demikian ujung dari keduanya ialah "kebenaran". Filsafat mencari kebenaran dan agama membawa kebenaran. Namun demikian kebenaran agama tidak akan dirasakan kecuali oleh orang yang berakal. Oleh sebab itu kebenaran agama harus digali  agar lebih jelas. Penggalinya ini dilakukan dengan menggunakan nalar filsafat.
Bagi al-kindi kebenaran yang dibawa oleh agama lebih positif dan lebih meyakinkan daripada kebenaran filsafat, walaupun ia juga harus memakai filsafat untuk lebih memperjelasnya, tetapi pekerjaan itu hanyalah pekerjaan membuka selubung barang yang telah ada.
Jadi, kebenaran yang hendak dicari oleh filsafat, akallah yang menjadi alat pencariannya, dan kebenaran yang dibawa oleh agama akal pulalah yang berfungsi untuk membuka tabirnya. Dengan demikian akal berfungsi dalam filsafat dan juga dalam agama.
Selanjutnya pembahasan yang paling tinggi dalam filsafat ialah pembahasan tentang masalah yang ada atau masalah kebenaran yang awal, yakni masalah ketuhanan. Sebab yang menjadi inti dari penggalian filsafat tidak lain ialah kebenaran. Kebenaran tidak akan sampai tuntas pembahasannya sebelum sampai kepada pokok dari segala kebenaran. Untuk itu filsafat berusaha keras untuk sampai kepada kebenaran pertama itu. Kebenaran pertama itulah Tuhan. Masalah ketuhanan digali dari berbagai jurusan, sehingga tampak dengan jelas kemutlakan-Nya, keadaan-Nya, keesaan-Nya dan sebagainya. Demikian pulalah dengan agama, di mana teologinya dengan dalil-dalil aklinya menetapkan tentang eksistensi Tuhan Yang Maha Mutlak itu. Demikianlah pandangan al-kindi tentang filsafat dan agama. Keduanya berjalan seiring, yang satu membutuhkan yang lain. Suatu kali al-kindi pernah mengatakan, bahwa siapa yang mengatakan filsafat ini bertentangan dengan agama berarti dialah yang tidak beragama.
Dengan ini tampak dengan jelas, bahwa al-kindi sangat mengagumi filsafat di samping kecintaannya kepada agama. Melihat jalan fikirannya dengan demikian tidak salah ada diantara ahli sejarah yang menganggap dia sebagai ahli ilmu kalam dari golongan mu'tazilah ketimbang sebagai filosof. Tetapi karena al-kindilah orang yang pertama Memperkenalkan buah fikiran filosof-filosof yunani serta memberikan analisa-analisa yang jelimet tentang dasar-dasar filsafat yunani itu, maka oleh sebagian besar pemikir islam menamakan dia sebagai filosof.[21]
Metafisika Al-kindi
Alam ini merupakan juz'iat (particulars) yang segalanya itu terdapat materi hakiki yang disebut kulliat (universal). Dalam istilah filsafat hakikat yang juz'iat itu biasa disebut dengan aniah dan hakikat yang kulliat disebutmahiah. Mahiah terdiri dari genus dan species.[22]
Bagi aristoteles benda-benda terdiri dari materi dan bentuk. Materi ialah substansi yang belum mempunyai bentuk, yang merupakan inti dari segala-galanya. Bila bentuk diletakkan pada materi berwujudlah materi tadi dalam keragaman yang dapat kita inderai. Terwujudnya bentuk digerakkan oleh penggerak pertama yang tidak diliputi oleh waktu, sebab adanya waktu ialah ketika telah wujudnya alam. Bagi al-kindi Tuhan tidaklah terdiri dari aniah ataupun mahiah. Tuhan mengatasi segenap alam, oleh sebab itu ia tidak sama dengan alam. Juga Tuhan tidak tersusun dari genus dan species, sebab setiap yang tersusun dari genus dan species adalah merupakan bentuk kejamakan dan bersifat fana (temporer), sedangkan Tuhan Maha Suci dari jamak dan fana. Tuhan hanya Esa, Dia-lah satu-satunya yang Esa, sebab Dia satu-satunya yang tidak tersusun dari genus dan species. Dan Tuhan itu kekal buat selama-lamanya.[23]
Tuhan bukan sebagai penggerak pertama seperti yang diungkapkan oleh aristoteles, tetapi bagi al-kindi Tuhan adalah pencipta. Daripada ciptaan-Nya yang awallah alam ini bersumber, sebagai akibat dari emanasi. Dalam hal ini al-kindi dekat dengan plotinus. Bagi plotinus, dari Yang Asal lagi Maha Sempurna melimpahlah makhluk yang pertama yaitu akal. Dari akal mengalir jiwa dunia dan dari jiwa lahirlah materi sebagai makhluk terendah. Mata rantai ini semakin jauh dari asalnya semakin berkuranglah kesempurnaannya. Menurut pandangan al-kindi yang asal dan Maha Sempurna itu, itulah Al-Khalik (creator) sebagai pencipta makhluk, kemudian makhluk melahirkan makhluk dan seterusnya sambung-bersambung ke bawah ke tingkat terendah.[24]
Di sini tampak bahwa al-kindi menyesuaikan antara filsafat plotinus dengan asas kepercayaan islam. Baginya Tuhan berada di atas hukum alam, Tuhan menjelmakan alam itu mempunyai suatu sunnah (ketentuan) yang tetap, sehingga yang satu menjadi sebab timbulnya yang lain.
Teori emanasi yang dibawa oleh al-kindi merupakan pembuka jalan bagi al-farabi untuk selanjutnya lebih memperjelas emanasi ini dalam bentuk yang lebih rinci.[25]
Tentang hakikat Tuhan, al-kindi mengatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang haq (sebenarnya) yang tidak pernah tiada sebelumnya dan tidak akan pernah tiada selama-lamanya, yang ada sejak awal dan akan senantiasa ada selama-lamanya. Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak pernah didahului wujud yang lain, dan wujud-Nya tidak akan pernah berakhir serta tidak ada wujud lain melainkan dengan perantaraan-Nya.[26]
Untuk membuktikan tentang wujud Tuhan, al-kindi berpijak pada adanya gerak, keanekaan, dan keteraturan alam sebagaimana argumentasi yang sering dikemukakan oleh filosof yunani.[27]
Sehubungan dalil gerak, al-kindi mengajukan pertanyaan sekaligus memberikan jawabannya dalam ungkapan berikut: mungkinkah sesuatu menjadi sebab adanya sendiri, ataukah hal itu tidak mungkin? Jawabnya: yang demikian itu tidak mungkin. Dengan demikian, alam ini adalah baru, ada permulaan dalam waktu, demikian pula alam ini ada akhirnya, oleh karenanya alam ini harus ada yang menciptakannya. Dari segi filsafat, argument al-kindi itu sejalan dengan argument aristoteles tentang causa prima dan penggerak pertama, penggerak yang tidak bergerak. Dari segi agama, argumen al-kindi itu sejalan dengan argumen ilmu kalam: alam berubah-ubah, semua yang berubah-ubah adalah baru, jadi alam adalah baru. Karena alam adalah baru, maka alam adalah ciptaan yang mengharuskan ada penciptanya, yang mencipta dari tiada (creation ex nihilo).[28]
Tentang dalil keanekaan alam wujud, al-kindi mengatakan bahwa tidak mungkin keanekaan alam wujud ini tanpa ada kesatuan, demikian pula sebaliknya tidak mungkin ada kesatuan tanpa keanekaan alam inderawi atau yang dapat dipandang sebagai inderawi. Karena dalam wujud semuanya mempunyai persamaan keanekaan (keserbaragaman) dan kesatuan (keseragaman), maka sudah pasti hal ini terjadi karena ada sebab, bukan karena kebetulan, dan sebab ini bukan alam wujud yang mempunyai persamaan dan keserbaragaman dan keseragaman itu sendiri. Jika tidak demikian akan terjadi hubungan sebab-akibat yang tidak berkesudahan, dan hal ini tidak mungkin terjadi. Oleh karenanya, sebab itu adalah diluar wujud itu sendiri, eksistensinya lebih tinggi, lebih mulia, dan lebih dulu adanya. Sebab ini, tidak lain adalah Tuhan.[29]
Mengenai dalil keteraturan alam wujud sebagai bukti adanya Tuhan, al-kindi mengatakan bahwa keteraturan alam inderawi tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya zat yang tidak terlihat, dan zat yang tidak terlihat itu tidak mungkin diketahui adanya kecuali dengan adanya keteraturan dan bekas-bekas yang menunjukkan ada-Nya yang terdapat dalam alam ini. Argumen demikian ini disebut argumen teleologik yang pernah juga digunakan aristoteles, tetapi juga bisa diperoleh dari ayat-ayat Al-Qur'an.
Tentang sifat-sifat Tuhan, al-kindi berpendirian seperti golongan mu'tazillah, yang menonjolkan ke-Esa-ansebagai satu-satunya sifat Tuhan.[30]
Corak  filsafat Al-Kindi tidak banyak diketahui karena buku-bukunya tentang filsafat banyak yang hilang, baru pada zaman belakangan orang menemukan kurang lebih 20 risalah Al-Kindi dalam tulisan tangan.[31]
Al-Kindi telah berjasa dalam usahanya menjadikan filsafat sebagai salah satu khazanah pengetahuan islam setelah disesuaikan lebih dahulu dengan agama. Dalam risalahnya yang dihadiahkan kepada Ahmad bin al-Mu’tashim billah tentang filsafat “pertama”(metaphysic) Al-Kindi menyatakan pendapatnya, baik agama maupun filsafat kedua-duanya menghendaki kebenaran. Agama menempuh jalan syari’at, sedangkan filsafat menempuh jalan metode pembuktian. Filsafat yang mempunyai kedudukan serta martabat yang tertinggi dan termulia ialah  filsafat “pertama”(filsafat metafisik), yakni pengetahuan tentang “kebenaran pertama”(al Haqqul-awwal)  yang merupakan illah (sebab pokok)  bagi semua kebenaran (Al-Haqq), demikian Al-kindi.[32]
Ketuhanan Menurut Al-Kindi
Sebagaimana halnya dengan filosof-filosof Yunani dan filosof-filosof islam lainnya, Al-Kindi, selain dari filosof adalah juga ahli ilmu pengetahuan. Pengetahuan ia bagi ke dalam dua bagian:
  1. Pengetahuan Ilahi (علم الهي, Divine science),  sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an: yaitu pengetahuan lansung yang diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini ialah keyakinan.
  2. Pengetahuan manusiawi (علم انساني, human science) atau falsafat. Dasarnya ialah pemikiran (ratio-reason)
Argumen-argumen yang dibawa Al-Qur’an lebih meyakinkan daripada argument-argumen yang ditimbulkan falsafat. Tetapi falsafat dan Al-Qur’an tak bertentangan, kebenaran yang diberitakan wahyu tidak bertentangan dengan kebenaran yang dibawa falsafat. Mempelajari falsafat dan berfalsafat tidak dilarang, karena teologi adalah bagian dari falsafat, dan umat islam diwajibkan belajar  teologi.[33]
Falsafat  baginya ialah pengetahuan tentang yang benar (بحث عن الحق, knowledge of truth). Di sinilah terlihat persamaan falsafat dan agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik, falsafat itu pulalah tujuannya. Agama, disamping wahyu, mempergunakan akal, dan falsafat  juga mempergunakan akal. Yang benar pertama (الحق  الأول, the first truth) bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Falsafat  dengan demikian membahas soal Tuhan dan agama ini pulalah dasarnya. Dan falsafat yang paling tinggi ialah falsafat tentang Tuhan. Sebagaimana kata Al-Kindi:
وَأسرَفُ  الفَلسَفةِ وأعْلاهاَ مَرْتبَةً الفَلسفةُ الأُوْلى أعْنىِ  عِلمَ الحَقِّ الأوَّلِ  هُوَ عِلَّةُ كُلِّ حَقٍّ
“Falsafat yang termula dan tertinggi derajatnya adalah falsafat utama, yaitu ilmu tentang yang benar pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar.”[34]
Adapun mengenai ketuhanan, bagi Al-Kindi, Tuhan adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain. Wujud-Nya tidak  berakhir, sedangkan wujud lain disebabkan wujud-Nya. Tuhan adalah Maha esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada dzat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek. Ia tidak dilahirkan dan tidak pula melahirkan.[35]
Sesuai dengan faham yang ada di dalam Islam, Tuhan bagi Al-Kindi adalah Pencipta dan bukan penggerak pertama sebagaimana pendapat Aristoteles. Alam bagi Al-Kindi bukan kekal  dizaman lampau (qadim) tetapi mempunyai permulaan. Pendapat Al-Kindi yang demikian menunjukkan betapa kuatnya pengaruh ilmu kalam pada waktu itu. Dalam hal membuktikan adanya Tuhan, Al-Kindi mengemukakan dalil empiris, yaitu: 1. dalil baharu alam, 2. dalil keragaman dan kesatuan, dan 3. dalil pengendalian alam.[36]
Jiwa Menurut Al-kindi
Adapun tentang jiwa, menurut Al-Kindi, tidak tersusun, tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi roh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan roh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, Illahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh.[37]
Roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri. Argumen  yang dikemukakan Al-Kindi tentang kelainan roh dari badan ialah keadaan badan mempunyai hawa nafsu (carnal desire) dan sifat pemarah (passion). Roh menentang keinginan hawa nafsu dan passion. Sudah jelas hawa yang melarang tidak sama, tetapi berlainan dari yang dilarang.[38]
Roh bersifat kekal  dan tidak hancur dengan hancurnya badan. Dia tidak hancur, karena substansinya berasal dari substansi Tuhan. Ia adalah cahaya yang dipancarkan Tuhan selama dalam badan, roh tidak memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan badan, roh memperoleh kesenangan sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna. Setelah bercerai dengan badan, roh pergi ke alam kebenaran atau alam akal diatas bintang-bintang, di dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan. Disinilah terletak kesenangan abadi dari roh.[39]
Hanya roh yang sudah suci di dunia ini yang dapat pergi ke alam kebenaran itu. Roh yang masih kotor dan belum bersih, pergi dahulu ke bulan. Setelah berhasil membersihkan diri dari sana, baru ia pindah ke merkuri, dan demikianlah naik setingkat demi setingkat hingga ia akhirnya setelah benar-benar  bersih, sampai ke alam akal, dalam lingkungan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.[40]
Jiwa mempunyai tiga daya:
  1. daya bernafsu (appetitive)
  2. daya pemarah (irascible)
  3. dan daya berpikir (cognitive faculty)
daya berpikir itu disebut akal. Menurut Al-Kindi ada tiga macam akal:
  1. akal yang  bersifat  potensial
  2. akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual
  3. dan akal yang telah mencapai tingkat  kedua dari aktualitas, yang dalam bahasa arab disebut:
فىِ حالةٍ مِنَ الفعْلِ ظَاهِرةً حِيْنَ يَبَاشِرُ  الفِعْلَ, الفِعْلُ الَّذى نُسمِّيْهِ الثَّانِى.
“Dalam keadaan aktual nyata, ketika Ia aktual, akal yang kami sebut “yang kedua”[41]
Akal yang bersifat potensial tak bisa mempunyai sifat aktual jika tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Dan oleh Karena itu bagi Al-Kindi ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud diluar roh manusia, dan bernama:العقل الذي بالعقل أبد (akal yang selamanya dalam aktualitas). Akal ini, karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal bersifat potensial dalam roh manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal ini:
  1. ia merupakan akal pertama
  2. ia selamanya dalam aktualitas
  3. ia merupakan species dan genus
  4. ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir
  5. ia tidak sama dengan akal potensial tetapi lain dari padanya.[42]
Bagi Al-Kindi manusia disebut menjadi عاقل (‘akil) jika ia telah mengetahui universal, yaitu jika ia telah memperoleh akal yang diluar itu. Akal pertama ini bagi Al-Kindi, mengandung arti banyak, karena dia adalahuniversal. Dalam limpahan dari Yang  Mahasatu, akal inilah yang pertama-tama merupakan yang banyak (اوّل متكثّر).[43]
Moral Menurut Al-Kindi
Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa seorang filosof wajib menempuh hidup susila. Hikmah sejati membawa serta pengetahuan serta pelaksanaan keutamaan. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia (stoa). Tabiat manusia baik, tetapi ia digoda oleh nafsu. Konflik itu dihapuskan oleh pengetahuan (paradoks Socrates). Manusia harus menjauhkan diri dari keserakahan. Milik memberatkan jiwa. Socrates dipuji sebagai contohzahid (asket). Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama (tijarat bi al-din) untuk memperkaya diri dan para filosof yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam Negara.  Ia merasa diri korban kelaliman Negara seperti Socrates. Dalam kesesakan jiwa, filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian dan hikmah dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan  tata Negara. Sebagai filosof, Al-Kindi prihatin, kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu dalam akhlak dia mengutamakan kaedah stoa dan Socrates.[44]
Kenabian Menurut Al-Kindi[45]
Tentang kenabian bagi Al-Kindi adalah satu derajat pengetahuan yang tertinggi bagi manusia. Hanya nabi yang bisa mencapai pengetahuan yang sempurna tentang alam ghaib dan ketuhanan  melalui wahyu. Kesanggupan untuk mengetahui seluk-beluk alam ghaib yang sempurna  seperti itu tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia biasa.
Keterbatasan pengetahuan manusia terhadap soal-soal hakikat dan alam ghaib disebabkan keterbatasan keleluasaan akalnya atas jasad. Oleh karena itu pengetahuan yang dicapai oleh manusia masih sedikit sekali dan hal ini masih belum sepenuhnya pula dapat diyakini kebenarannya. Berlainan dengan wahyu yang disampaikan Tuhan kepada nabi, ia lebih positif dan kebenarannya dapat diyakini sepenuhnya. Jadi kenabian lebih tinggi dari derajat para filosof.
Kesimpulan
Al-kindi adalah filosof islam yang mula-mula secara sadar berupaya mempertemukan ajaran-ajaran islam dengan filsafat yunani. Sebagai seorang filosof, al-kindi amat percaya kepada kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang sama diakuinya pula keterbatasan akal untuk mencapai pengetahuan metafisis. Oleh karenanya menurut al-kindi diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-hal diluar jangkauan akal manusia yang diperoleh dari wahyu Tuhan. Dengan demikian, al-kindi tidak sependapat dengan para filosof yunani dalam hal-hal yang dirasakan bertentangan dengan ajaran agama islam yang diyakininya. Misalnya mengenai kejadian alam berasal dari ciptaan Tuhan yang semula tiada, berbeda dengan pendapat aristoteles yang mengatakan bahwa alam tidak diciptakan dan bersifat abadi. Oleh karenanya al-kindi tidak termasuk filosof yang dikritik  al-ghazali dalam kitabnya tahafut al-falasifah (kerancuan para filosof).[46]
Karangan-karangan al-kindi umumnya berupa makalah-makalah pendek dan dinilai kurang mendalam dibandingkan dengan tulisan-tulisan farabi. Namun sebagai filosof perintis yang menempuh jalan bukan seperti para pemikir sebelumnya, maka nama al-kindi memperoleh cetak biru dan mendapat tempat yang istimewa di kalangan filosof  sezamannya dan sesudahnya. Tentu saja ahli-ahli pikir kontemporer yang cinta kebenaran dan kebijaksanaan akan senantiasa merujuk kepadanya.[47]
REFERENSI:
ý     Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, Filsafat Islam, Jakarta: gaya media pratama, cet.III, 2002.
ý     Dr. H.A. Mustafa, Filsafat Islam, Bandung: pustaka setia, cet. II, desember 2004.
ý     Prof.Dr.H. Abu Bakar Aceh, sejarah filsafat islam, sala\; cv. Ramadani, cet.I, 1970.
ý     Yunasril Ali, perkembangan pemikiran falsafi dalam islam, Jakarta: bumi aksara,  cet.I,  1991.
ý     Dr. Ahmad Fuad Al Ahwani, Filsafaf Islam,  Jakarta: pustaka firdaus, cet. 8, 1997.
ý     Harun Nasution, Falsafat dan  mistisisme  dalam islam, Jakarta: bulan bintang, cet.10, 1999.

[1]Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, Filsafat Islam, Jakarta: gaya media pratama, cet.III, 2002, hal. 15
[2] Dr. H.A. Mustafa, Filsafat Islam, Bandung: pustaka setia, cet. II, desember 2004, hal. 99
[3] Ibid, Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, Filsafat Islam
[4] Ibid, Dr. H.A. Mustafa, Filsafat Islam, hal. 100
[5] Ibid, hal. 101
[6] Prof.Dr.H. Abu Bakar Aceh, sejarah filsafat islam, sala\; cv. Ramadani, cet.I, 1970, hal. 46
[7] ibid
[8] ibid
[9] ibid
[10] Ibid, hal. 47
[11] ibid
[12] ibid
[13] Ibid, Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, Filsafat Islam, hal.  17
[14] Ibid, Dr. H.A. Mustafa, Filsafat Islam, hal. 102-103
[15] Ibid, hal. 104
[16] ibid
[17] Ibid, hal. 104-105
[18] Ibid
[19] Ibid, hal. 106
[20] Yunasril Ali, perkembangan pemikiran falsafi dalam islam, Jakarta: bumi aksara,  cet.I,  1991, hal. 30
[21] Ibdi, hal. 31
[22] ibid
[23] ibid
[24] Ibid, hal. 32
[25] ibid
[26] Ibid, Dr. H.A. Mustafa, Filsafat Islam, hal. 109
[27] ibid
[28] ibid
[29] Ibid, hal. 109-110
[30] ibid
[31] Dr. Ahmad Fuad Al Ahwani, Filsafaf Islam,  Jakarta: pustaka firdaus, cet. 8, 1997, hal. 68
[32] Ibid, hal. 69
[33] Harun Nasution, Falsafat dan  mistisisme  dalam islam, Jakarta: bulan bintang, cet.10, 1999, hal. 8
[34] Ibid, hal.9
[35] Ibid, Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, Filsafat Islam, hal. 19
[36] Ibid, hal. 20
[37] Ibid, hal. 22
[38] Ibid, Harun Nasution, Falsafat dan  mistisisme  dalam islam, hal. 10
[39] Ibid, hal. 11
[40] Ibid,  hal. 12
[41] Ibid,
[42] Ibid, hal. 13
[43] Ibid, hal. 14
[44] Ibid, Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, Filsafat Islam, hal. 24
[45] Yunasril Ali, perkembangan pemikiran falsafi dalam islam, Jakarta: bumi aksara,  cet.I,  1991,  hal. 33-34
[46] Ibid, Dr.H.A. Mustafa, filsafat islam, hal. 114-115
[47] ibid


Read more →

Filsafat Ar-Razi

,

Filsafat Ar-Razi

Oleh: Darwadi
Copas from : http://makalah88.blogspot.com/2012/01/filsafat-ar-razi.html
Ar-Razi Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakariya Ar-Razi dilahirkan di Ray dekat Teheran, sekitar pada tahun 865 M / 251 H. Ar-Razi masih mempunyai hubungan darah dengan bangsa Persia dan hidup pada masa kejayaan Daulah Abasiyah. Dikala mudanya ia banyak menumpukan perhatiannya untuk mempelajari matematika, kedokteran dan filsafat alam
( natural philosophy) serta logika. Adapun gurunya yang banyak berjasa kepada Ar-Razi hingga menjadi seorang Physician dan filosof terkenal adalah Hunyn bin Ishak.[1]

Ar-Razi juga banyak menimba ilmu-ilmu lainnya dari Abu Al-Husen Ali bin Rin Ath-Thabari. Ia pindah ke Bahgdad dan menjabat sebagai ketua rumah sakit Al-Adhudi. Dipenghujung usianya, Ar-Razi mnejadi buta, kemudian wafat di Baghdad pada tahun 320 H / 924 M.[2]
Karir Ar-Razi sebagai intelektual tampak dengan jelas dari buku-bukunya yang tidak kurang dari 200 jilid banyaknya tentang medis, astronomi, kosmologi, kimia, filsafat dan sebagainya.[3]
Ar-Razi terkenal di Barat dengan nama Rhezes dari buku-bukunya tentang ilmu kedoteran. Bukunya yang terkenal adalah tentang cacar dan campak yang diterjemahkan dalam bebagai bahasa di Eropa dan pada tahun 1866 masih dicetak untuk yang keempat puluh kalinya. Al Hawi merupakan ensiklopedia tentang ilmu kedokteran, tersusun lebih dari 20 jilid dan mengandung ilmu kedokteran Yunani, Syria, dan Arab.[4]
Adapun karya-karya Ar-Razi yang masih dapat dinikmati sampai sekarangmeskipun buku-buku tersebut dihimpun dalam satu kitab yang dikarang oleh orang lain adalah:
Ÿ         Al-Tibb al-Ruhani
Ÿ         Al-Shirath al-Falasafiyah
Ÿ         Amarat Iqbal al Daulah
Ÿ         Kitab al-ladzdzah
Ÿ         Kitab al Ibnu al Ilahi
Ÿ         Makalah fi mabadd altalbiah
Ÿ         Al Syukur ’Ala Proclas[5]
Ar-Razi dalah filosof yang berani mengeluarkan pendapat-pendaptnya meskipun pendapat tersebut bertentangan dengan paham yang dianut umat Islam yaitu:
  1. Tidak percaya pada wahyu
  2. Al-Qur’an bukan mu’jizat
  3. Tidak percaya pada Nabi-Nabi
  4. Adanya hal-hal yang kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir selain Tuhan[6]
Meskipun beberapa pemikiran Ar-Razi bertentangan dangan kepercayaan umat Islam, pemikirannya telah memberi warna tersendiri dalam filsafat Islam. Terutama tentang kebesan berfikir dan menemukan kebenaran dalam menggunakan akal.[7]
b. Akal dan Agama
Corak Pemikaran Ar-Razi adalah rasionalis elektis. Rasional artinya ia selau mencari kebenaran dengan pangkal tolak kekuatan akal dan elektis artinya selektif[8]. Hal ini tampak dalam halaman pendahuluan karyanya, al-Thib al-Ruhani, ia menulis : ” Tuhan segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar denganya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat; inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita dapat melihat yang berguna untuk kita dan yang membuat hidup kita baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita. Dengan akal pula kita dapat mengetahui tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh. Jika akal sedemikian mulia dan penting maka kita tidak boleh melecehkannya, kita tidak boleh menentukannya, sebab dia adalah penentu, atau mengendalikanya sebab dia adalah pengendali, atau memerintahkannya sebab dia adalah pemerintah, tetapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan masalah dengannya; kita harus sesuai dengan perintahnya.[9]
Menurut Ar-Razi kita hendaknya mengembalikan segala urusan kepada akal; merubahnya dengan berpatokan kepadanya; bersandar kepadanya dalam segalanya. Kita juga harus menjalankan segala urusan sesuai ketentuannya; berhenti karena arahnya. Kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan akal. Karena nafsu adalah ancaman baginya yang mengeruhkan kejernihannya; memalingkannya dari jalan, cinta, tujuan dan konsistensinya.[10]
Ar-Razi tidak percaya kepada Nabi-Nabi, sebab Nabi itu hanyalah pembawa kehancuran bagi manusia, ajaran Nabi-Nabi itu saling bertentangan, pertentangan itu akan membawa kehancuran manusia.[11]Menurutnya para Nabi tidak berhak mengklim bahwa dirinya memiliki keistimewaan khusus, baik fikiran maupun rohani, karena semua orang itu adalah sama dan keadilan tuhan serta hikmah-Nya mengharuskanya untuk tidak membedakanya antara seorang dengan yang lainnya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwasanya tidaklah masuk akal bahwa tuhan mengutus para Nabi padahal mereka tidak luput dari pada kesalahan dan kekliruan. Setiap bangasa hanya percaya kepada Nabinya dan tidak percaya kepada Nabi bangsa  lain. Dan akibat dari inilah banyak terjadi konflik, peperangan dan kebencian antara bangasa karena kefanatikan kepada agama bangsa yang dianutnya.[12] Begitu juga dengan wahyu yang didakwahkan oleh para Nabi kebenrannya tidaklah benar adanya. Al-Qur’an dengan gaya bahasanya bukanlah mu’jizat bagi Nabi Muhammad ia hanya sebagai buku biasa. Nikmat akal lebihlah konkrit dari wahyu oleh sebab itu membaca buku-buku filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya lebih berarti dari pada membaca buku-buku agama.[13] Keberlangsungan agama hanyalah berasal dari tradisi, dari kepentingan para ulama yang diperalat oleh negara, dan dari upacara-upacara yang menyilaukan mata orang bodoh.[14]
Tidak mengherankan kalau pandangan hidup Ar-Razi membangkitkan banyak perlawanan dalam lingkaran tradisonal. Keahliannya dalam bidang kedokteran dipuja akan tetapi filsafatnya pada umumnya dicela disebabkan banyak mengandung kufurat. Tatkala diakhir hayatnya Ar-Razi mengalami kebutaan maka dikatakan bahwa itu adalah azab dan murka dari Allah karena anggapan liarnya. Karyanya juga sudah mendapatkan kecaman semasa dia hidup. Krtikan paling pedas terhadap karyanya adalah seorang ulama yang sebangsa dengannya juga yakni Abu Hatim Ar-Razi (933) dalam a’lam annubuwat. Berkat dari kritikan itu maka ajaran Ar-Razi dapat diketahui, karena tulisan aslinya telas musnah.[15]
c. Prinsip Tentang Lima yang Abadi
Filsafat Al-Razi dikenal dengan ajarannya “ Lima Kekal”, yakni :
  1. Al-Bari Ta’ala, Tuhan Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna.
  2. An-Nafsul- Kulliyah, Jiwa yang Universal yang hidup dari jasad ke jasad sampai suatu waktu menemukan kebebasan yang hakiki.
  3. 3. Al-Hayulal-Ula, materi pertama yang dari padanya Tuhan menciptakan dunia. Materi ini terdiri dari atom-atom yang mempunyai volume. Atom-atom ini mengisi ruang sesuai dengan kepadatannya. Atom tanah adalah yang paling padat, kemudian menyusul air, hawa dan api.
  4. 4. Al-Makanul-Mutlaq, ruang yang absolut, abadi tanpa awal dan tanpa akhir.
  5. 5. Az-Zamanul- Mutlaq, masa yang absolut, abadi tanpa awal dan tanpa akhir.[16]
Dari lima kekelan itu ada dua yang hidup dan bergerak yakni, Tuhan dan ruh yang pasif dan yang tidak hidup adalah materi pembentuk setiap wujud dan dua lagi yang tidak hidup, tidak bergerak dan tidak pasif yaitu kehampaan dan keberlangsungan[17]
Benda tidak dapat terlepas dari yang lima ini sebab:
  1. Setiap benda perlu ada yang menciptakannya. Sebab itu ia perlu kepada Tuhan Pencipta.
  2. Diantara benda ada yang hidup. Hidup memerlukan roh. Sebab itu perlu adanya roh.
  3. Benda adalah materi, yang dengannya ia dapat diinderai.
  4. Materi mengambil tempat, sebab itu perlu ruang untuk sebagai tempatnya.
  5. Materi mengalami perubahan, perubahan terjadi dalam waktu.
Hanya tentang zaman Ar-Razi membaginya atas dua bentuk, ada zaman yang absolut dan ada zaman yang reltif. Zaman yang absolut bersifat abadi tidak berawal dan tidak berakhir, tetapi zaman yang relatif dapat disifati dengan angaka.
Menurut Dr. T.J. De Beor bahwa dasar-dasar metafisika Ar-Razi berasal dari doktrin-doktrin tua  seumpama pemikiran-pemikiran Anaxagoras, Empedokles, Mani dan lain-lain. Puncak dari metafisikanya itulah Prinsip Tentang Lima Yang Abadi (five co-eternal prinsiples)[18]
d. Hubungan Jiwa dan Materi
Allah adalah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan Allah bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada . karena itu, alam semestinya tidak kekal, sekalipun materi awal kekal, sebab penciptaan disini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada.
Jiwa universal merupakan al-mabda’ al-qadim al-sany (sumber kekal yang kedua). Pada benda-benda alam terdapat daya hidup dan gerak-- sulit diketahui karena ia tanpa bentuk--yang berasal dari jiwa universal yang juga bersifat kekal. Tetapi karena ia dikuasai naluri untuk bersatu dengan al-hayula al-ula (materi pertama), maka terjadilah pada zatnya bentuk yang dapat menerima fisik. Sedang materi pertama tanpa fisik maka Tuhan datang menolong roh dengan menciptakan alam semesta termasuk tubuh manusia yang ditempati roh, agar jiwa itu dapat melampiaskan nafsu jahatnya dengan mengambil bagian kesenangan-kesenangan materil untuk sementara waktu.[19]
Kemudian sebagai alat bagi roh dalam mengenyam dunia Tuhan menciptakan manusia. Manusia inilah yang ditempati oleh jiwa. Setelah jiwa menempati materi jasad manusia ia pun lupa kepada tujuan yang sejati, yang berada diluar materi, ia asik mengenyam kesengan materil yang sensitif.[20] Tuhan menciptakan manusia guna menyadarkan ruh dan menunjukan bahwa dunia ini bukanlah dunia yang sebenarnya dalam arti hakiki.
Manusia tidak akan mencapai dunia hakiki ini, kecuali dengan filsafat. Mereka yang mempelajari filsafat dan mengetahui dunia hakiki dan memperoleh pengetahuan akan selamat dari keadaan buruknya. Ruh-ruh ini akan tetap berada di dunia sampai ia disadarkan oleh filsafat akan rahasia dirinya kemudian akan diarahkan keepada dunia hakiki. Melalui filsafat manusia dapat memperoleh dunia yang sebenarnya, dunia sejati
atau dunia hakiki.[21]
e. Moral
Adapun pikiran Ar-Razi tentang moral, sebagaimana tertuang dalam bukunya Al-Thib al-Ruhani dan al-Sirah al-falsafiyyah, bahwa tingkah laku pun mesti berdasrkan kepada petunjuk rasio. Hawa nafsu haruslah berada pada kendali akal dan agama. Ia memperingatkan bahaya minuman khamar yang dapat merusak akal dan melanggar ajaran agama, bahkan dapat mengakibatkan menderita penyakit jiwa dan raga yang pada gilirannya akan menghancurkan manusia.[22]
Dusta adalah suatu kebiasaan buruk. Dusta dibedakan kepada dua: untuk kebaikan yang bersifat terpuji, dan untuk kejahatan yang bersifat tercela. Jadi, nilai dusta terletak pada niat. Demikian pula dengan kekikiran, nilainya terletak pada alasan melakukannya. Bila kikiran tersebut disebabkan rasa takut menjadi miskin dan rasa takut akan masa depan, maka hal itu tidaklah buruk. Karena itu, harus ada pembenaran apabila kikiran orang tersebut mempunyai alasan yang dapat diterima, maka ini bukanlah kejahatan. Tetapi bila yang terjadi justru sebaliknya maka hal yang demikian haruslah diperangi.[23]
f. Kesimpulan
Ar-Razi adalah filosof yang hidup pada masa pendewaan akal secara berlebihan. Hal ini sebagaimana Mu’tazilah yang merupakan  theologi dalam Islam. Apabila ar-Razi seorang muslim maka dia bukanlah seorang muslim yang sempurna disebabkan ketidak percayaannya kepada wahyu dan kenabian. Akan tetapi Ar-Razi tetap dipandang pada masanya sebagai seorang yang tegar dan liberal didalam Islam. Bahkan dalam sejarah Ar-Razi adalah seorang yang dikenal sebagai seorang rasional murni dan sangat mempercayai akal, bebas dari prasangka serta terlalu berani dalam mengeluarkan gagasan filosofinya.[24]
Dan untuk mengakhiri makalah ini saya akan menukil pernyataan Al-Ghazali mengenai persoalan-persoalan yang terdapat dalam karya-karya filosof Islam yang menurutnya dapat merusak ajaran Islam. Al-Ghazali mencatat ada dua puluh persoalan, dari dua puluh persoalan tersebut tujuh belas diantaranya dipandang sebagai pembaharuan yang tercela (bid’ah). Dan tiga diantaranya yakni pandangan filosof tentang (1) yakni badan manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, akan tetapi jiwa yang dicabut dari badan yang akan diberi balasan baik atau hukuman. Dan baik pahala atau hukum tersebut adalah dalam bentuk spritual dan bukan bentuk jasmaniah (2) Tuhan yang maha Mulia hanya mengetahui hal-hal yang universal dan bukan yang partikular dan (3) bahwa dunia ini kadim[25] baik waktu yang lalu maupun yang akan datang. Oleh Al-Ghazali ketiga pandangan itu menyebabkan para filosof dapat dipandang kafir.[26]

REFERENSI
1.  Yusril Ali, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara
2.  Dr. Ismail Asy-Syarafa, Ensklopedi Filsafat, Jakarta : Khalifa
3.  Harun Nasution, Fisafat dan Mistisme Dlam Islam, Jakarta : Bulan Bintang
4.  Hasymsyah Naution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama
5.  Bagus Takwin, Filsafat Timur
6.  Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka
7. JMW. Bakker SY, Sejarah Filsafat Dalam Islam, Yogyakarta: Penerbitan Yayasan Kanisus
8. Misla Muhammad Amien, Epistimologi Islam, Jakarta : UIP
9. Agusa Purwanda, Teologi Filsafat dan Sains, Malang: UMM Press, 2002, Cet I

[1] Yusril Ali, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dalam Islam,Jakarta: Bumi Aksara, cet I, hal. 34
[2] Dr. Ismail Asy-Syarafa, Ensklopedi Filsafat, Jakarta : Khalifa, Cet I, hal. 106
[3] Yusril Ali, Op.Cit, hal. 34
[4] Harun Nasution, Fisafat dan Mistisme Dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, hal.15
[5] Drs. H. A Mustofa, Filosafat Islam, Bandung: Pustaka Setia , hal.117
[6] Harun Nasution, Op.Cit, hal 19
[7] Bagus Takwin, Filsafat Timur, hal. 123
[8] Misla Muhammad Amien, Epistimologi Islam, Jakarta: UIP, hal. 46
[9] Hasymsyah Naution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet III, hal.26
[10] Dr. Ismail Asy-Syarafa, Op.Cit, hal. 107
[11] Yusril Ali, Op.Cit, hal.35
[12] Hasymsyah Nasution, Op.Cit, hal. 27
[13] Yusril Ali, Op.Cit, hal. 36
[14] Hasymsyah Nasution, Op.Cit, hal. 27
[15] JMW. Bakker SY, Sejarah Filsafat Dalam Islam, Yogyakarta : Penerbitan Yayasan Kanisus, Cet I, hal. 43-44
[16] Yusril Ali,Op.Cit, hal. 37
[17] Drs. H. A. Mustofa, Op.Cit, hal. 120
[18] Yusril Ali, Op.Cit, hal.38
[19] Hasymsyah Nasution, Op.Cit, hal. 26-27
[20] Yusril Ali, Op.Cit, hal.38
[21] Drs. H. A. Mustofa, Op.Cit, hal
[22] Hasyimsyah Nasution, Op.Cit, hal.20
[23] Op.Cit, hal. 21
[24] Drs. H.A Mustofa, Op.Cit, hal. 125
[25] Terdahulu dari tiap-tiap permulaan; awal daris segala permulaan yang tidak terbatas oleh masa.
[26] Agusa Purwanda, Teologi Filsafat dan Sains, Malang: UMM Press, 2002, Cet I, hal. 29
Read more →